BASIC
VALUE IMTI UMB
IKATAN MAHASIWA TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS
MERCU BUANA
JAKARTA
2012
2.1 Falsafah Kehidupan
Manusia adalah
makhluk yang diciptakan berada pada taraf yang paling tinggi dalam jenjang
kemakhlukan, ia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat dari pada binatang
yang hanya mempunyai perasaan dan bukan akal. Kualitas akal dan pengetahuan
manusia merupakan unsur pembeda antara manusia dengan makhluk lain, yang
menyebabkan manusia mempunyai hak untuk mendapatkan penghormatan dari makhluk
lain.
Kedudukan khusus ini
karena ia mampu mengembangkan potensinya menjadi aktual. Potensi manusia
dikembangkan dengan kemampuan inderawi, naluri, imajinasi, hati nurani, dan
fikiran rasional yang dalam konsepnya harus dibedakan dengan akal. Akal lebih
merupakan pengertian yang mencakup keseluruhan kemampuan manusia menangkap
dimensi kebenaran. Akal menggabungkan fungsi fikiran rasional dengan hati
nurani, bahkan imajinasi, sehingga mengatasi indera dan naluri. Ketiganya
berhubungan secara organis dan fungsional.
Namun
manusia dilahirkan ke dunia dengan keadaan lemah, tergantung pada pertolongan
manusia lain yang lebih kuat, dan tidak memiliki sarana lengkap untuk
menghadapi dan juga, menyelesaikan masalah-masalah hidupnya. Nalurinya
semata-mata tidak cukup untuk menunjang hidup secara wajar. Ketidakberdayaan dan
“ketidaksempurnaan” nya membuat manusia, sadar atau tidak, mengajukan
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna keberadaan diri, keberadaan sesama
serta yang berkaitan dengan makna dan tujuan hidupnya. Pada
tahap ini menunjukkan bahwa ada masalah hakiki yang dihadapi manusia, yakni
keterjarakan dirinya dengan misteri kehidupannya. Ada jarak yang harus ditempuh
dalam perjalanan hidup manusia untuk memahami secara benar tentang konsep
manusia itu sendiri.
Kemudian
pertanyaan-pertanyaan hakiki tersebut berusaha untuk dicarikan jawabannya
dengan serangkaian pengetahuan positif dan renungan, yang
berasal dari pengalaman empiriknya. Kesemuanya itu akan bermuara pada keyakinan
puncak atas sistem nilai dan norma kebenarannya, yang akan dapat mempengaruhi keputusan tindakan konkret manusia.
Manusia selalu cenderung
merasa tidak maha sempurna sehingga mengarahkan dirinya pada realitas Yang Maha
Sempurna, ia membutuhkan pertolongan, bimbingan
dan perlindungan dari sesuatu yang diyakini sebagai Yang Maha Kuasa.
Ia menumpukan pengetahuannya pada prinsip-prinsip niscaya rasional (teologis).
Prinsip ini bisa membuktikan tentang suatu realitas secara objektif, meskipun
tidak terlihat tetapi nilai-nilainya ada dan kehadirannya dapat dirasakan. Pada
puncaknya sampai kepada keberadaan
realitas tertinggi yang mengatasi hidup manusia, yang pantas disembah dan
dipuja manusia.
Karena
manusia
adalah material, yang realis, bukan idealis maka realitas tertinggi ini adalah
nyata dan objektif. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya realitas
tertinggi ini dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan berdasarkan
prinsip-prinsip niscaya rasional tadi, baik yang bersifat intuitif, ilmiah,
historis, pengalaman dan lain-lain, keterbatasan indera dan akal manusia
(relativis) bukan merupakan alasan meragukan keberadaan realitas tertinggi ini.
Karena
itu, suatu bentuk keyakinan merupakan kebutuhan alamiah manusia sebagai pembimbing
dan pengarah manusia agar mendapatkan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan
hakiki manusia. Keyakinan akan melahirkan sistem nilai untuk menopang hidup dan
budayanya, menjadi pendorong sekaligus pengendali bagi tindakan-tindakan
manusia dan komunitasnya. Sikap
tanpa keyakinan, tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat
terjadi.
Disebabkan keyakinan
menjadi dasar dari setiap gerak dan
aktifitas hidup, keyakinan hidup harus
bersumber pada kebenaran agar tindakan manusia tidak merusak sistem kehidupan.
Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang dimiliki
oleh setiap mahluk hidup adalah relatif. Hanya sesuatu yang diyakini sebagai Yang Maha Benar yang memiliki kebenaran mutlak,
yaitu realitas tertinggi Yang Maha Sempurna dan Maha Kuasa agar dapat menolong,
membimbing dan melindungi manusia pada jalan yang lurus. Berdasarkan persepsi
dan alam pikiran manusia, realitas tertinggi Yang Maha Sempurna, Yang Maha
Kuasa, dan Yang Maha Benar tersebut dirumus-kan sebagai Tuhan. Selain persepsi dan alam pikiran manusia dapat menjadi alat
mendekati kebenaran mutlak, Tuhan juga menyatakan diriNya kepada manusia
melalui firman dan ayat-ayat-Nya.
Tuhan itu ada, dan ada
secara mutlak hanyalah Tuhan. Prinsip-prinsip niscaya rasional yang dimiliki
manusia bisa membuktikan keberadaan Tuhan secara objektif. Karena kemutlakan
Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada
pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun Tuhan dengan sifat Maha
Pengasih dan Maha Penyayang-Nya
menurunkan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan
dengan insting dan indera, yaitu
“wahyu” melalui manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh
Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rosul atau utusan Tuhan dengan maksud membimbing dan mengarahkan
manusia untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan hakiki manusia.
Oleh karena itu wahyu Tuhan yang tertuang dalam kitab suci dan petunjuk
guru/Nabi Tuhan (sebagai saksi pewahyuan
dari pihak manusia) merupakan sumber ilmu yang bertanggungjawab untuk memahami
Ketuhanan dan ajaran-ajaran-Nya.
Dalam kenyataan kita temui
bentuk-bentuk keyakinan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena
bentuk-bentuk keyakinan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada
dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang
benar. Disamping itu masing-masing bentuk keyakinan mungkin mengandung
unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur. Disini fungsi kitab suci
bukan menjadi alat untuk menyatakan klaim kebenaran suatu keyakinan (korban
pelarian) karena klaim kebenaran tersebut juga terdapat dalam kitab suci lain.
Ketika banyak truth claim yang dimunculkan, kebenaran suatu keyakinan akhirnya
menjadi relatif. Maka diperlukan media lain yang sifatnya lebih universal dan
netral, yang harus kita gunakan lebih dulu, yaitu dalil aqliyah (akal). Dalil
kitab suci hanyalah sebagai penguat saja atas keimanan kita setelah memahami
dalil-dalil aqliyah, bukanlah mengulang-ulang pernyataan bahwa akal itu
terbatas.
Manusia bisa bebas dan
merdeka jika dia meninggalkan segala bentuk keyakinan yang dipertuhan-kan dan
memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Tunduk pada ukuran
kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti tunduk pada
Tuhan. Dialah Tuhan yang tiada tuhan selain Dia, pencipta
segala sesuatu yang ada termasuk manusia.
Kesaksian
manusia kepada Tuhan bukan merupakan kebutuhan Tuhan atasnya, melainkan
konsekuensi atas penciptaan dirinya sendiri. Manusia dengan
segala kelebihannya adalah puncak ciptaan Tuhan, manusia merupakan mahluk yang
tertinggi dan merupakan wakil Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardhi). Sesuatu yang membuat manusia menjadi
manusia adalah ketika manusia kembali kepada fitrahnya.
Fitrah merupakan bentuk
keseluruhan tentang diri manusia yaitu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat
dan kegiatan-kegiatan manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya
dari mahluk-mahluk yang lain. Fitrah manusia lahir didunia adalah dalam keadaan
suci
Dengan memenuhi hati
nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati. Karena
hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran.
Karena fitrahnya membuat
manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran
(hanief) maka hakikat tujuan hidup manusia yang sesungguhnya adalah kebenaran
yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan. Pendekatan kearah ke
arah pengetahuan kebenaran yang mutlak hanya bisa ditempuh jika manusia
mempunyai ilmu, oleh sebab itu Tuhan menganugerahi manusia dengan akal yang
membedakan manusia dengan mahluk lain. Karena hanya dengan akal manusia
memperoleh ilmu dan dengan ilmu manusia bisa menempuh tujuan hidupnya tersebut.
Disisi lain sebagai
konsekuensi khalifatullah fil ardhi; manusia ditumbuhkan dari bumi
dan diserahi untuk memakmurkannya, maka ilmu harus digunakan manusia mengelola dan memanfaatkan bumi sebagai
kebutuhan dan tanggungjawab manusia tanpa merusak dan mengeksploitasinya guna
memenuhi kebutuhan dan untuk mencapai tujuan hidupnya.
Penggunaan
ilmu untuk tugas-tugas peradaban dan agama tersebut menjadikan ilmu sebagai satu kesatuan pengetahuan tentang
Tuhan, alam dan manusia. Sehingga melahirkan spektrum ilmu yang sangat utuh yaitu theology, kealaman, dan
sosial, yang pada gilirannya melahirkan cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya yang digunakan
sesuai keahlian individu manusia untuk menjalankan hidupnya dan tujuan
hidupnya.
Jadi manusia lahir dibumi
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, namun disisi lain ada
tanggungjawab sekaligus kebutuhan manusia bertahan hidup di muka bumi demi
kembali kepada-Nya serta mendapat ridlo-Nya. Proses kembalinya manusia kepada
Tuhan harus mendapat ridlo-Nya, hal ini dapat dilakukan dengan menjalankan
segala perintah-Nya baik yang bersifat vertikal (ibadah/mengabdi kepada Tuhan)
maupun yang bersifat horisontal (ibadah/mengabdi kepada sesama manusia). Hal
ini memungkinkan manusia melakukannya karena manusia mempunyai akal, namun tak
jarang manusia menemui kesesatan karena keterbatasan akalnya dan atau hawa
nafsu yang berlebihan. Oleh karena itu manusia
harus menemukan hukum-hukum-Nya yang terdapat di alam semesta, dan
mempelajarinya dengan akal budi.
Dengan landasan iman yang kuat dan menyeluruh yang disertai dengan penguasaan ilmu, akhirnya manusia akan
mencapai puncak perkembangan diri
dan masyarakat. Dengan demikian, kesesatan manusia dalam mencari kebenaran akan berakhir apabila menempatkan
cara berfikirnya dalam kerangka iman dan perspektif kitab suci serta petunjuk
guru (nabi Tuhan).
Sesungguhnya
ilmu dan agama bersumber dari Maha Pencipta, dengan demikian kedua hal tersebut
akan saling melengkapi dan menyempurnakan, akan memberikan pemahaman dari
rujukan yang utuh, menyeluruh dan terpadu, tidak akan saling bertentangan.
Kehadiran,
hidup, dan tumbuhnya manusia di muka bumi adalah sebuah kenyataan atas kehendak
Tuhan, manusia sebagai wakil Tuhan dimuka bumi hanya ditugasi sesuai
kemampuannya yaitu beriman, berilmu dan beramal (kerja
kemanusiaan) sehingga mendapat ridlo-Nya agar dapat kembali lagi dan
mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan.
Manusia dengan segala potensi dan karunia yang dimilikinya, tetap
mempunyai peran sentral atas semua tindakannya, selama itu berada dalam lingkup
sistem alam yang berlaku universal (sunnatullah). Tuhan hanya memberikan jalan
dan rambu-rambunya, manusia yang memilih. Manusia tidak dikenakan ganjaran atas
semua efek yang dia terima karena perbuatan orang lain. Takdir = ikhtiar +
sunnatullah.
Kualitas
manusia ditentukan pada tingkat kesadaran tindakan. Manusia paling sempurna
adalah dia yang mempunyai pengetahuan utuh tentang realitas tertinggi, bukan
pada keterampilan (skill). Insan kamil ini tidak mesti tahu teknis bekerja,
tapi dia tahu inti hakikat perbuatan manusia. Dia mustahil berbuat dosa dan
lupa. Sebab dosa adalah terkalahkannya pengetahuan rasional oleh hawa nafsu,
sedangkan lupa adalah lalai/masa bodoh akan pengetahuan yang telah
diperolehnya.
Insan kamil
adalah khalifah Tuhan tingkat unggul (par
excellence) sebab semua nama Tuhan
termanifestasi dalam dirinya. Sebagai makhluk sosial, dia akan mewartakan jalan
pasti menuju Tuhan dan menerapkan keadilan di masyarakat. Keadilan sosial
terjadi ketika sistem yang berlangsung adalah interaksi sesama makhluk Tuhan
dengan amanah masing-masing sehingga tidak ada kelas yang dominan, melainkan
sebatas 'pengurus'. Keadilan ekonomi terjadi ketika seluruh sistem kepemilikan
pribadi dan distribusi kekayaan diarahkan pada kemaslahatan dan kesejahteraan
kolektif.
Watak yang
dihimpun dalam masyarakat tauhid adalah kesadaran tentang realitas yang bebas
dari pencitraan budaya pop. Tindakan kritis yang berjalan adalah membangun
peradaban dalam semangat kemanusiaan adiluhung, yang meletakkan hawa nafsu
dalam skala wajar dan mendudukkan rasionalitas dalam tingkatan yang semestinya.
Perlawanan terhadap setiap sistem yang zalim adalah keniscayaan eksistensial
manusia karena jiwa manusia menghendaki kebebasan.
2.2 Kehidupan Kemahasiswaan
Kehidupan manusia tidak hanya dibangun oleh
kehidupan fisik dan kehidupan spiritual, tapi juga kehidupan fikiran sebagai
fitrah manusia yang memiliki akal.
Kehidupan fikiran manusia
adalah hasil kerja organ tubuh yang bernama otak, syaraf, dan indera yang
bersifat uraian (analisis) dan kesimpulan (sintesis) yang digunakan sebagai
sarana dan prasarana memahami sumber dari segala sumber kreatifitas manusia.
Kehidupan
pemikiran manusia dikembangkan secara sadar melalui proses pendidikan dan
pengajaran di lembaga pendidikan secara formal maupun tidak formal, mulai dari
sekolah dasar ke perguruan tinggi.
Dalam
proses pengembangan kehidupan pemikiran, semua manusia tidak akan lepas dari
pengaruh kondisi psikologis dan perkembangan otak yakni ada kondisi dimana
manusia belum dewasa dan sudah dewasa (baligh). Dalam kondisi manusia belum
dewasa proses pencarian kebenaran membutuhkan pembimbing dan sudah dewasa
proses pencarian kebenaran cukup memerlukan petunjuk.
Ketika
seseorang berada diperguruan tinggi dia telah melewati langkah-langkah kearah
kedewasaan yaitu pasca adolesensi akhir (18-20thn) di tingkat kedewasaan penuh,
ditandai dengan adanya hasrat memiliki wibawa/wewenang, dapat menerima dan
turut menyumbang kepada unsur-unsur kebudayaan yang dianggapnya cocok baginya,
melihat “arti dan makna” hidup dalam dimensi/tinjauan perspektif masa
lampau/kini/mendatang.
Masa-masa
menjadi mahasiswa merupakan masa paling produktif, strategis, dan sangat
menentukan dalam pembentukan insan kamil. Darah muda yang mengalir dalam tubuh
mahasiswa tercermin dalam sikap dan watak yang sedang mencari identitas. Karena
ada persamaan objektif dalam komunitas mahasiswa, yaitu komunitas ilmiah, potensi
intelektual yang tumbuh dalam diri mahasiswa menuntut adanya medium agar satu
sama lain saling melengkapi guna tumbuhnya potensi tersebut. Disini keinsyafan
akan persamaan kepentingan, nasib, dan tujuan belum tentu sama, yang terjadi
adalah adanya suasana golongan (kolektivitet).
Kemudian
kepolosan/keluguan yang dimiliki mahasiswa dipaksa menerima kenyataan akan diri
dan lingkungannya dan menciptakan tuntutan bahwa idealisme mereka harus terus
berkembang dan bertransformasi mengiringi semangat zamannya. Maka timbul
kesadaran akan pentingnya hidup berkelompok. Pemenuhan kebutuhan bersama dan
mengejar tujuan bersama menjadi faktor utama. Maka timbul kehendak bersama
untuk mengadakan tata tertib untuk mengatur kelompok dan melaksanakan tujuan.
Inilah proses terbentuknya suatu organisasi, oleh karena itu terdapat
pengertian yang melekat (inherent)
bahwa pendidikan politik merupakan bagian tak terpisahkan dalam dinamika
organisasi.
Pilihan
masuk/membentuk organisasi kemahasiswaan merupakan keputusan monumental dan
sakral dalam perjalanan hidup seorang mahluk sosial berstatus mahasiswa.
Keberadaan organisasi-organisasi kemahasiswaan, khususnya yang berada dalam
kampus, sudah menjadi bagian mutlak dalam dinamika kemahasiswaan.
Dunia
kemahasiswaan merupakan perkembangan dari seluruh komponen di dalamnya yang
meliputi pemikiran, konsensus, platform, struktur, institusi, sehingga
membentuk semesta tak terpisahkan. Semua unsur-unsur itu membentuk sebuah
sistem masyarakat yang sering disebut dengan kemahasiswaan. Oleh sebab itu,
mahasiswa memegang peran primer dan kemahasiswaan memegang peran sekunder yang
membentuk dunia kemahasiswaan. Definisi ini didasari oleh argumen bahwa
mahasiswalah yang membentuk kemahasiswaan, bukan sebaliknya. Selain itu, objek
mahasiswa adalah realitas yang bersifat fisik sedangkan kemahasiswaan bukan
realitas yang bersifat fisik.
Jika
banyak kenyataan organisasi kemahasiswaan telah menjangkau wilayah-wilayah
sosial, budaya, dan politik maka harus dipahami sebagai aksi intelektual
organisasi kemahasiswaan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dan sah dalam
kehidupan sosial (bermasyarakat dan bernegara). Pada dasarnya tujuan abstrak
semua organisasi kemahasiswaan adalah membangun kesadaran mahasiswa lewat
proses pematangan dalam organisasi. Majunya kesadaran mahasiswa akan
kekelompokannya menentukan sifat organisasi yang diikutinya. Sifat organisasi
harus dinamis dan hal tersebut bergantung pada anggotanya, maka perlu penegasan
bahwa organisasi itu adalah sekedar alat bukan tujuan!
Dipost Oleh : Adaftasi Of Rudini Mulya_Industrial Engineer
FT UMB/06/07/2012.XVGD
FT UMB/06/07/2012.XVGD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar